Ads 720 x 90

DOLOK MERANGIR (1958 - 1965)


Oleh: Hariswan Indra
Sebelum pindah bekerja ke perkebunan Dolok Merangir pada pertengahan tahun 1957, ayah saya Alm. Syahruddin bekerja di Consulate India di Jl. Babura Medan, tempat saya dilahirkan dan sempat bersekolah di Sekolah Rakyat Padang Bulan.

Sambil menunggu rumah tinggal keluarga yang belum selesai direnovasi, ayah saya tinggal di rumah sementara, sedangkan kami seluruh anggota keluarganya masih tinggal di Medan.

Pada awal tahun 1958, kami sekeluarga pindah ke Dolok Merangir dan tinggal di rumah tangki di mana jumlah anggota keluarga kami saat itu adalah 7 orang yaitu ayah saya Alm. Syahruddin, Ibunda tercinta dan kami 5 bersaudara yaitu: (1) Alm. Nasrullah [1945-2005], (2) Syamsul Ma’rif, (3) Alm. Hadiwinata alias Eddy [1948-2004], (4) Hariswan Indra dan (5) Agus Suhairy.

Di rumah tangki, kami hanya sempat tinggal selama 1 tahun sebab pada saat adik kami Nurmaidi Syahputra (Nonki) lahir, Mei 1959, ayah memperoleh promosi jabatan sebagai staff Personalia dan harus pindah ke rumah yang karena bentuknya mirip bangunan gereja, kemudian dikenal oleh kebanyakan orang Dolok Merangir waktu itu sebagai rumah gereja yang letaknya tak begitu jauh dari Country Club Goodyear.

Tahun 1958 saya bersekolah di Sekolah Rakyat Negeri Dolok Merangir yang saat ini berlokasi di pondok kandang kebo (?). Kepala Sekolahnya pada waktu itu kalau tidak salah adalah Bapak Simanjuntak yang sangat hobby bermain catur. Guru-guru yang masih saya ingat adalah Pak Subandi, Pak Hutagalung, Ibu Nurmala dan Ibu Tambunan dari Pematang Siantar.

Kalau Bang Gito Bantas berteman dengan para senior di atas saya, maka adik-adik dari teman-teman senior bang Gito Bantas dari pondok bengkel yang menjadi sohib sekaligus teman sekelas saya di Sekolah Rakyat dulu adalah: Binales dan Alm. Nirwana Rasyid, Eddy dan Alm. Dharma Dahlansyah serta Wati binti Sartono. Sedangkan teman-teman saya di lingkungan Rumah Sakit dan sekitarnya adalah: Liper & Prof. Dr. Hotman Siahaan - yg saat ini kalau tidak salah masih menjabat sebagai Rektor UNAIR Surabaya, Binari Siregar, Hotles Sitompul dan Alm. Ida Sitompul, Kriston dan Edu Silitonga, Nurmauli Hutagalung, Nastiti Jadiono, dan si kembar cantik Prihati & Prihani Bantas (keduanya adik bang Gito). Tak berapa jauh dari rumah tempat tinggal keluarga Bantas ke arah timur, masih terdapat beberapa rumah tinggal para staff Good Year lainnya seperti: Om Tahir, Om Bunian & Om Sulaeman “jenggot”, sedangkan yang berasal dari lingkungan gedung atas tempat tinggal para juragan kita adalah: Nurafni “butet’ Siregar, Sarijan, dan Ponimin.

Sebenarnya masih banyak lagi teman seangkatanku tapi saat ini masih blank spot dan musti di ingat-ingat kembali.

Pada tahun 1962, Pak Tumin sudah menjadi Lurah dan bekas gedung sekolah disamping rumahnya di fungsikan sebagai madrasah tempat kami belajar mengaji dan mengkaji dasar-dasar ilmu agama Islam. Guru kami yang pertama yang kami panggil mu’alim (ustadz) adalah ustadz Abdullah asal Aceh yang sangat pandai dalam ilmu agama, khususnya dalam bercerita tentang ketauladanan yang diambil dari kisah para Rasul dan sahabat. Jika beliau sedang mengisahkan satu riwayat, kami semuanya tenggelam dan terpukau dibawa ke alam yang mengasyikkan.

Beberapa tahun kemudian, ustadz Abdullah digantikan oleh ustadz Batubara yang berasal dari Serbalawan yang kemudian tinggal di rumah guru yang terletak di samping mesjid panggung dekat rel KA yang saat ini mungkin sudah tak ada lagi.

Tahun 1963 menjelang G30S PKI, seperti halnya keluarga Pakde Bantas, ayah saya juga di pindahtugaskan ke perkebunan Wingfoot yang merupakan cabang Good Year di Kabupaten Asahan. Nama Wingfoot kemudian berganti menjadi Perkebunan Aek Nabara. Tahun itu adalah masa-masa yang sangat berat bagi seluruh rakyat Indonesia, saat mana sebagai dampak dari perjuangan Bung Karno melawan Nekolim (neo kolonialisme & imperialism) dan memutuskan untuk berkonfrontasi dengan Malaysia serta embargo dari Negara-negara barat yang mendukung Malaysia, maka kondisi ekonomi kita sangat parah. Beras sangat sulit didapat dan kalaupun ada, kualitasnya sangat buruk namun harganya sangat mahal. Banyak saudara-saudara kita yang demi menyambung hidup harus makan nasi campur jagung, tiwul, gaplek, bahkan bulgur, sejenis tanaman biji-bijian sebagai bahan dasar dedak untuk makanan kuda.

Beruntunglah karena sebagai staff Good Year, keluarga kami masih boleh berharap dari beras catu (pembagian/jatah) dari perusahaan yang juga berkualitas rendah namun bila dibandingkan dengan nasi jagung apalagi bulgur, sangat patut untuk disyukuri. Saking sulitnya memperoleh beras dari distributor, maka perusahaan membuat kebijakan bahwa setiap keluarga hanya berhak mendapatkan 7,5 kg beras dikali jumlah anggota keluarga. Jatah gula adalah 1 kg per-kepala. Karena jumlah kami sekeluarga ada 8 orang, maka jatah beras yang kami peroleh hanya 60 kg per bulan. Karena buruknya kualitas beras catu tsb, ibu kami selalu menukarnya dengan beras yang lebih layak dimakan yang karena dikonversi dengan harga pasar yang berlaku saat itu, maka rata-rata pada akhirnya hanya tersisa sekitar 40 kg saja. Kekurangan jatah beras bulanan ini kemudian biasanya ditutup oleh beliau dengan membelinya di pasar. Itupun jika stock beras kebetulan masih tersedia. Pada saat itu nilai mata uang rupiah hampir tak ada harganya sebab inflasi sudah sedemikian tinggi.

Kami tinggal di Aek Nabara (Wingfoot) sampai pertengahan tahun 1964, kemudian kembali lagi ke Dolok Merangir. Salah satu keluarga asal Aek Nabara yang kami kenal baik adalah keluarga Om Mogang Sinaga yang pada waktu itu menjabat sebagai Administratur Perkebunan. Tak lama kemudian keluarga mereka juga ikut pindah kembali ke Dolok Merangir.

Situasi politik Negara yang tak menentu saat itu, di tambah kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semakin meluas dan semakin brutal, telah menjadikan kehidupan rakyat pada umumnya dan karyawan Good Year pada khususnya menjadi bertambah sengsara. Syarikat buruh yang pada saat itu berafiliasi ke PKI yaitu SOBSI, semakin sering mengadakan mogok kerja yang menyebabkan mesin-mesin fabrik karet Good Year terhenti, sehingga tentu saja menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi perusahaan.

Ayah saya yang saat itu menjabat sebagai Personel Manager Good Year, mau tak mau harus sering terlibat negosiasi dengan perwakilan buruh (yang jumlah anggotanya hampir 7.000 orang) untuk mengakomodir tuntutan-tuntutan buruh dengan caranya sendiri (yang di belakang hari kami dengar sangat persuasif). Sehingga biasanya pertentangan yang ada antara perusahaan dan buruh selalu dapat mereka selesaikan dengan baik, bahkan sekaligus "mendinginkan" setiap gejolak yang ada. Tapi saat itu kami tidak tahu sampai kapan keadaan seperti itu akan terus berlangsung?

Meskipun dari luar segalanya terlihat seolah-olah baik-baik saja, tapi ternyata - mungkin karena ada yang meniupkan fitnah dengan tuduhan bahwa ayah saya adalah seorang pro-nekolim, atau lebih tepat sebenarnya karena diyakini tak mungkin terbujuk untuk masuk menjadi anggota PKI, maka diam-diam kemudian kami pun mendengar bahwa ayah saya termasuk dalam daftar target di urutan atas dalam daftar orang-orang yang akan "dilenyapkan" oleh partai. ~ Bersambung.




Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter