Ads 720 x 90

NEGARA DALAM PERKEBUNAN

JADEL, alias Jawa-Deli, dengan "koeli kontrak" ibarat setali tiga uang. Apalagi anak-anak mereka yang lahir di Tanah Deli kini bahkan lebih suka disebut Jadel. Hanya kehadiran ayah mereka yang sangat menyedihkan sejak abad ke-18 sampai akhir abad ke-19 itu, terus-terang, sulit dilupakan. Dampaknya masih sangat dalam menggores hingga kini. Peraturan perkulian yang termaktub dalam Koelie Ordonnantie yang lahir pada 1880 itu telah mencabik-cabik mereka.

Di situ diisyaratkan: yang sudah mengikat dirinya sebagai kuli kontrak diharuskan bekerja tiga tahun. Dan tanpa jaminan, setelah habis masa kontrak, mereka akan dikembalikan ke tempat asalnya. "Dulu politik Belanda mendatangkan kuli-kuli dari Jawa itu seperti transmigrasi terselubung," kata Tengku Luckman Sinar, S.H., 55 tahun. Seingat anak Sultan Serdang yang mengajar sejarah di Fakultas Sastra USU Medan ini, dengan menggaji kuli-kuli itu kecil, pengusaha perkebunan mengait keuntungan besar. Kemudian, untuk menekan biaya, mereka juga menyelenggarakan perjudian. "Karena kuli-kuli sudah kehabisan uang, kalah main judi, lalu mereka teken kontrak lagi. Ikatan ini tentu membuat para kuli tidak pernah membayangkan lagi kapan harus pulang ke kampungnya di Pulau Jawa.

Pengusaha Belanda menggunakan siasat ini karena mereka tahu kelemahan bangsa kita waktu itu," tutur penulis buku Sari Sejarah Serdang itu. Selain mengadakan perjudian, alat lain untuk menekan para kuli adalah poenale sanctie. "Hukum ini persis menciptakan negara dalam kebun, karena pengusaha punya hukum sendiri. Akhirnya buruh-buruh kasar itu selalu dalam keadaan takut. Dan perasaan itu masih menurun hingga sekarang. "Mereka takut dipecat," tambah Luckman Sinar. Kini sulit mengingkari bahwa kondisi buruh perkebunan di Sumatera Utara itu belum juga berubah. Kenapa? Kata Tengku Luckman Sinar, karena "mental kuli" memang sengaja diciptakan oleh Belanda. Dan ini diturunkan lagi dengan mengambil buruh dari keturunan mereka sendiri, dengan alasan yang paling gampang: mereka bisa dipercaya.

Jadi, kultur itu sudah diciptakan begitu rupa, yang ditanam lebih dari seabad lalu. Syahdan, Sultan Deli Mahmud Perkasa Alamsyah sudah melepaskan wilayahnya dari kekuasaan Kerajaan Aceh. Untuk melindungi Tanah Deli, pada 22 Agustus 1862, ia membuat perjanjian politik dengan Belanda, hingga melahirkan Acte van Verband. Waktu itu sultan masih bersinggasana di Labuhan Deli. Perjanjian tersebut tentu memberi dampak, di antaranya Kontelir Belanda, Cats Baron de Raet, juga boleh berkantor di sana. Di masa De Raet inilah perkulian itu disuburkan. Ia adalah orang yang melindungi Jacobus Nienhuys, yang pada 7 Juli 1863 telah mendapat konsesi tanah untuk menanam tembakau dari Sultan Deli.

Sempat mampir di Pulau Penang Nienhuys tiba di Labuhan Deli pada tahun itu juga. Sebelumnya ia bekerja di perkebunan tembakau Van den Arend di Jawa Timur. Suasana di tempat baru ini rupanya tidak serupa dengan di Jawa Timur. Nienhuys, walau lumayan mendapat fasilitas dari Sultan Deli, masih kesulitan mengumpulkan buruh harian yang mau memborong mengolah lahannya yang luas itu. Agaknya, pribumi telanjur tidak senang pada kehadirannya, karena dianggap saingan.

Kecil-kecilan, mereka juga menanam tembakau. Dalam pada itu, kebun percobaan yang diusahakan sendiri oleh Nienhuys masih belum berhasil. Namun, ia belum mau patah arang. Sekonyong-konyong ia teringat pada Penang. Di sana ia melihat ada pasar kuli. Ia pun berlayar lagi ke Penang. Dan masih di tahun itu juga, 1863, tatkala pulang kembali ke Deli, ia menjadi orang pertama yang "mengimpor" kuli dengan membawa 88 orang Cina. Belanda menabalkan Jacobus Nienhuys sebagai "Bapak Tembakau" di Tanah Deli. Kemudian, maskapai-maskapai lain yang juga sudah dapat konsesi dari Sultan Deli mengikuti jejaknya, selain mendatangkan kuli Cina dari Penang, Singapura, India, juga dari Hong Kong.

Waktu itu di Tanah Deli sudah berdiri sejumlah perkebunan tembakau, di antaranya Deli Maatschappij, Deli-Batavia Maatschappij, dan Arendsburg. Berbarengan dengan itu, permintaan tenaga buruh meningkat pula. Pada 1875 muncul perusahaan-perusahaan agen yang mencari buruh -- semacam TKW sekarang. Mereka disebut tukang werek atau koelie-wervers. Hanya mendatangkan kuli dari Hong Kong dan India (terutama orang-orang Tamil) itu mahal. Kemudian mata werek beralih ke Pulau Jawa. Mereka merayap ke sana, lalu mendirikan kantor di Jakarta, Semarang dan di beberapa tempat lain, karena tenaga kerja di situ memang murah. Mereka juga pandai menggombal, dengan menjanjikan pada calon kuli itu bahwa setelah di Tanah Deli kelak, mereka akan lebih senang dibandingkan dengan di tempat asal mereka. Tapi yang setuju dibawa ke "Soemantrah" (Sumatera) atau Tanah Seberang itu harus lebih dulu meneken formulir kontrak. 

Belakangan buruh-buruh dari Jawa ini, karena mereka sudah "teken" lalu dikenal sebagai "koeli kontrak". Untuk pertama, masih di Jawa, mereka mendapat voorschot 20 gulden. Setelah tiba di Deli, sisanya, 10 gulden lagi, diberikan. Sejak itu dikenallah zaman kuli kontrak di Indonesia. Karena mutunya bagus, tembakau dari Deli itu kemudian menjadi populer di Eropa, untuk pembalut cerutu. Dan bukan tembakau saja yang jadi sasaran. Sejumlah onderneming kemudian muncul menanam karet. Sementara itu, pusat kegiatan dagang juga sudah berpindah dari Labuhan Deli ke Kampung Medan. 

Pada 1879, setelah kampung ini membengkak menjadi kota yang dikelilingi perkebunan, Medan lalu dipilih sebagai pusat asosiasi Deli Planters Vereniging. Lalu perkumpulan semacam itu disusul dengan dibentuknya Algemene Vereniging van Rubberplanters Ooskust van Soematera atau AVROS. Acte van Verband pada 2 Juni 1907 diubah. Maka, lahirlah politiek-contract. Tapi beberapa pasal yang diperbarui, di masa Sultan Makmun ar-Rasyid itu, lebih banyak menguntungkan Belanda. Sementara perkebunan tembakau dan karet di Sumatera Timur kian berkembang. Apalagi para planter-planter itu selalu beroleh kemudahan konsesi tanah dari Sultan Deli, yang juga ditiru oleh Sultan Serdang dan Sultan Langkat. 

Kedua sultan ini kemudian ikut populer. Mereka kaya. Malah Sultan Langkat kelimpahan rezeki dari sektor lain. Di wilayahnya, yang sekarang dikenal dengan Pangkalanberandan, mengalir pula minyak. Para sultan bahkan sudah berlomba-lomba membangun istana yang indah. Misalnya Sultan Makmun ar-Rasyid. Dengan biaya 400 ribu gulden, pada 26 Agustus 1888 baginda membangun Istana Maimoon, dan 21 Agustus 1906 didirikan Masjid Raya Al-Mansoon, yang sekarang masih berdiri megah di Medan. Dalam hal kuli, terutama yang berasal dari Pulau Jawa, lain lagi. Bahkan sampai 1930 saja, dibandingkan dengan para kuli Cina (192.822) dan Tamil (18.904), yang Jawa (589.836) justru mengalami diskriminasi yang parah. Mereka ditempatkan di barak-barak asalan. Sedangkan upah buruh dari Jawa terhitung paling rendah. Bahkan kelebihan bagi kuli Cina, usai menjalani masa kontrak tiga tahun, terserah mau apa, boleh sambung lagi atau hengkang ke kampung halaman.

Nyatanya mereka lebih suka memilih menetap di Deli, bukan lagi sebagai kuli, tetapi buka usaha alias leveransir. Poenale sanctie memang telah bikin keok kuli asal Jawa. Mereka terus diikat, namun kondisinya kian parah. Di antaranya, hanya lantaran tidak menundukkan tubuh ketika mencangkul, langsung dipukul. Banyak di antaranya kemudian yang lari, lalu diperlakukan seperti binatang, diburu-buru. Setelah tertangkap disekap di tutupan (kurungan), sembari dihajar oleh mandor atau tandil. Setelah itu ada yang disuruh makan tinja dan diarak, untuk menjadi contoh bagi yang lain, agar tidak lari. 

Kasus penganiayaan seperti disebut di atas pernah dijadikan sebuah laporan panjang dalam harian Benih Timoer, Medan, pada 1926. Pelakunya adalah seorang Jepang. Namanya Kozo Oriuchie, 32 tahun. Kejadiannya di Perkebunan Pulau Mandi, Asahan. Si Jepang itu ada di sana, setelah Port Arthur jatuh pada 1905. Ia memperoleh konsesi kebun karet di Pulau Mandi. Tetapi kejamnya bukan main. Buruh-buruhnya selalu dipukuli bila tak mau menunduk maanakala sedang mencangkul. Kemudian Tuan Jepang ini diadili, atas 12 perkara dengan 35 saksi yang pernah diperlakukannya secara biadab itu. Raad atau pengadilan, begitu tulis H. Mohammad Said dalam bukunya Koeli Kontrak Tempo Doeloe (1977), memvonis Kozo Oriuchie dengan hukuman dua setengah tahun penjara. 

Aroma tembakau Deli kemudian terhirup juga ke Amerika Serikat. Tapi orang di sana, setelah tahu tembakau tersebut dipupuk dengan keringat para kuli yang diisap oleh poenale sanctie, akhirnya memboikot. Mereka tak mau mengimpor lagi. Dalam pada itu, permintaan agar aturan jahanam ini dihapuskan, selain datang dari Belanda sendiri (maklum, politik etis), sudah muncul awalnya dari anggota Volskraad yang pribumi. Pada 1918, permintaan agar aturan itu dimusnahkan, datang dari mulut Teuku Tjhik Mohammad Thayeb (ayah Dr. Syarief Thayeb, eks Menteri P dan K). Uleebalang Peureula ini ditemani oleh H.O.S. Tjokroaminoto, Dr. Tjipto Mangunkoesoemo dan kawan-kawan. 

Lalu pada tahun berikutnya disusul dari yang lain-lain. Kemudian datang, di antaranya dari Mohammad Husni Thamrin dan Haji Agus Salim, pada 1927. "Kontrak ber-poenale sanctie itu penghinaan yang dipikulkan atas rakyat sebangsa kita. Si pekerja yang terikat itu tidak bisa menebus dirinya," begitu tulis Haji Agus Salim dalam harian Moestika, 1 Desember 1931. Setelah menelan ribuan korban, pada 1 Januari 1932 poenale sanctie itu dikubur. Namun, akibatnya masih terseret-seret dalam kerat tubuh para bekas kuli dan anak cucu mereka, yang hingga kini sudah memilih kampung halamannya di Tanah Deli.




Zakaria M. Passe | TEMPO Interaktif | 21 Januari 1989

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter