Ads 720 x 90

PASAREAN KI AGENG SELO

MBAH BUYUT RAJA MATARAM DIMAKAMKAN DI SURABAYA?

Berjalan menyusuri sudut kota Surabaya, masih banyak misteri sejarah belum terpecahkan sampai saat ini. Beberapa peninggalan-peninggalan sejarah masa prakolonial (petilasan, pesapen, pesaren, punden) masih banyak kita jumpai di kota ini. Minimnya literatur menyulitkan untuk mengupas apa sebenarnya terjadi pada saat itu. 

Kembali ke topik, Makam Mbah Buyut raja-raja Mataram di Surabaya?

Mungkin juga ada kaitannya karena dulu Surabaya berada di bawah kekuasaan kerajaan Mataram ini yang masih menyimpan misteri yang belum terungkap. Menyusuri jalan di kawasan Wiyung tepatnya Jl. Wiyung IV, RT04/RW06, Kelurahan Wiyung, Kecamatan Wiyung. Kira-kira 200 meter dari jalan Raya Wiyung, kita akan menemukan kompleks pemakaman yang dikenal luas sebagai Pesaren Ki Ageng Selo (Syeikh Abdurrahman).

Siapakah sebenarnya Beliau? 
Jika ditelusuri silsilah lengkapnya dari beberapa literatur, maka silsilah beliau berkaitan erat dengan Raja-Raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta). 

Ringkasan Sejarah Silsilah 
Menurut Babad Tanah Jawi Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja Majapahit, Brawijaya-V. Pernikahan Brawijaya-V dengan Putri Wandan Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa inilah lahir Bogus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo. 

Ki Ageng Selo juga merupakan Waliluyah (Penyebar Agama Islam) di tanah Jawa yang ajarannya dituangkan dalam Serat Pepali Ki Ageng Selo, yang merupakan pengejawantahan ajaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi. 

Kegemaran Ki Ageng Selo bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi-bagikan kepada tetangga yang membutuhkan agar berkecukupan pangan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Selo mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya atau yang lebih dikenal dengan nama Joko Tingkir

Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja-raja besar yang menguasai seluruh Jawa. 

Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. [Altholif: 35-36]. 

Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Selo untuk dapat menurunkan raja-raja besar sudah didahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng Selo berujar: "Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu." [Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36]. 

Kesaktiannya menangkap Petir? 
Ketika Sultan Demak, Trenggana, masih hidup, pada suatu hari Ki Ageng Selo pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar-benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Selo tetap santai-santai saja menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “bledheg“ alias petir itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek- kakek. Kakek itu cepat-cepat ditangkapnya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “bledheg“ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat wujud “bledheg“ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek-nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “bledheg“ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah suara menggelegar yang memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu sang nenek dan sang kakek “bledheg" sirna entah ke mana, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “bledheg" hancur berantakan.

Pesaren Ki Ageng Selo di kawasan Wiyung ini berada di komplek pemakaman penduduk dengan gapura candi susunan batu bata. Pesaren berada di halaman Mushola bertuliskan aksara jawa “Tedja Kentjana”. para peziarah mengunjungi makam ini biasanya pada hari Kamis Kliwon malam Jumat Legi. Puluhan peziarah memadati makam dari sore hingga dini hari, yang disambung dengan pengajian oleh jamaah mushola. 

Menurut penuturan warga, makam yang panjangnya kira-kira 5 meter ini dulu nama makamnya bukan Ki Ageng Selo atau Syeikh Abdurrahman, namun “Buyut Jati”. Dinamakan Buyut Jati karena pada waktu warga menemukan pertama kali, makam dipenuhi dengan pohon jati. Berhubung kondisi makam pada waktu itu tidak ada identitas yang dapat ditemukan, maka warga secara spontan menyebutnya dengan nama tersebut, setelah melalui proses penelitian yang panjang kira-kira 15 sampai 20 tahun, pada tahun 2005 diganti dengan nama “Ki Ageng Selo atau Syeikh Abdurrahman.”

Dulu pada waktu pecahnya pertempuran Surabaya, para pejuang atau warga yang terdesak oleh serangan tentara sekutu, menggunakan area makam mbah buyut untuk bersembunyi. Alhasil mereka pun selamat dari kejaran tentara sekutu. Sekarang makam ini dirawat dan dijaga oleh penduduk sekitar makam. Makam Ki Ageng Selo atau Syeikh Abdurrahman menjadi penanda bahwa pernah hidup seorang waliyullah dengan mendirikan Padepokan Tedja Kentjana untuk kemaslahatan masyarakat Wiyung dan sekitarnya. Beliau mengajarkan bagaimana menjalankan syariat Islam secara baik dan benar, sesuai yang diajarkan oleh gurunya, Raden Rachmattullah atau Sunan Ampel.

Di sanalah ibunda tercinta kami disemayamkan.

[Sumber: Surabaya Historical]


Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter